Selasa, 25 Oktober 2011

sejarah kesetaraan gender

Kita Bangsa Indonesia, selalu memperingati Hari Ibu pada tanggal 22 Desember. Di Hari Ibu, kita biasanya menyiapkan berbagai macam hal untuk mewujudkan rasa sayang dan hormat kita pada seorang ibu. Ada yang memberi hadiah kado pada ibu, membuat puisi untuk ibu, dan bahkan memanjakan seorang ibu dengan tidak membiarkannya melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik untuk satu hari itu. Tapi, apa sebenarnya Hari Ibu?

Sejarah Hari Ibu

Sesuatu yang unik ketika kita mengetahui bahwa Hari Ibu ternyata tidak diperingati diwaktu yang sama di seluruh dunia. Kebanyakan negara (terutama Barat) memperingati Hari Ibu pada Bulan Mei minggu pertama atau kedua. Sedangkan di Indonesia, Hari Ibu selalu diperingati pada tanggal 22 Desember. Yang menarik, setiap negara memiliki sejarahnya masing-masing dibalik penetapan waktu Hari Ibu. Di Amerika, Hari Ibu diperingati untuk mengenang salah seorang aktivis perempuan bernama Julia Ward Howe yang memperjuangkan hak pilih untuk kaum perempuan di Amerika. Di Iran, Hari Ibu diperingati untuk mengenang putri kesayangan Nabi Muhammad SAW, Fatimah Az-Zahra. Dan di Indonesia, Hari Ibu berkaitan erat dengan sejarah perjuangan kaum wanita Indonesia pada jaman sebelum kemerdekaan.

Sejarah Hari Ibu di Indonesia berhubungan dengan Sumpah Pemuda yang digelar pada 28 Oktober 1928. Semangat Sumpah Pemuda yang menggelorakan rasa kebangsaan itu juga menginspirasi para kaum wanita. Maka, diadakanlah kongres wanita pertama di Yogyakarta, 22-25 Desember 1928 dan diikuti oleh 30 organisasi wanita di Jawa dan Sumatera. Berbagai isu yang saat itu dipikirkan untuk digarap adalah persatuan perempuan Nusantara; pelibatan perempuan dalam perjuangan mendirikan kemerdekaan; pelibatan perempuan dalam berbagai aspek pembangunan bangsa; perdagangan anak-anak dan kaum perempuan; perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita; pernikahan usia dini bagi perempuan, dan sebagainya (http://wikipedia.or.id).

Pada tahun 1938, diadakan Kongres Perempuan Indonesia III di Bandung dan ditetapkanlah tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu. Kemudian, pada tahun 1959, Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden no. 316 tahun 1959 mengukuhkan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu yang merupakan Hari Nasional dan bukan hari libur.

Misi diperingatinya Hari Ibu pada awalnya lebih untuk mengenang semangat dan perjuangan para perempuan dalam upaya perbaikan kualitas bangsa ini. Dari situ pula tercermin semangat kaum perempuan dari berbagai latar belakang untuk bersatu dan bekerja bersama. Di Solo, misalnya, 25 tahun Hari Ibu dirayakan dengan membuat pasar amal yang hasilnya untuk membiayai Yayasan Kesejahteraan Buruh Wanita dan beasiswa untuk anak-anak perempuan. Pada waktu itu panitia Hari Ibu di Solo juga mengadakan rapat umum yang mengeluarkan resolusi meminta pemerintah melakukan pengendalian harga, khususnya bahan-bahan makanan pokok. Pada tahun 1950-an, peringatan Hari Ibu mengambil bentuk pawai dan rapat umum yang menyuarakan kepentingan kaum perempuan secara langsung (http://wikipedia.or.id).

Isu Gender di Hari Ibu

Pada dasarnya, persoalan gender hanya meliputi dua persoalan pokok, yaitu persoalan relasi antara laki-laki dan perempuan dan perbedaan posisi antara laki-laki dan perempuan. Dari Sejarah Hari Ibu, kaum perempuan memperjuangkan keseimbangan posisi antara kaum laki-laki dan perempuan dalam mendirikan kemerdekaan Indonesia dan pembangunan bangsa. Argumennya adalah persoalan mendirikan kemerdekaan dan membangun bangsa tak hanya urusan kaum laki-laki semata, namun juga menjadi tugas perempuan sebagai bagian dari sebuah bangsa.

Sungguh menarik mencermati bagaimana kesadaran ikut serta dalam mendirikan kemerdekaan dan membangun bangsa telah muncul dipikiran kaum perempuan pada saat itu. Pelibatan perempuan dalam perjuangan mendirikan kemerdekaan dan pelibatan perempuan dalam berbagai aspek pembangunan bangsa menjadi dua diantara beberapa isu yang dibahas pada kongres wanita pertama. Isu ini menjadi sangat penting ditengah-tengah “pikiran bawah sadar” masyarakat (termasuk kaum perempuan sendiri) bahwa tugas agung mendirikan kemerdekaan dan membangun bangsa terlalu berat untuk perempuan yang “lemah.” Meskipun sebelumnya telah banyak dari kaum perempuan yang membuktikan kekuatan mereka, seperti Martha Tiahahu, Cut Nyak Dien, Rasuna Said, Rahmah El Yunusiah, dan lain sebagainya. Mereka membuktikan bahwa mereka punya kekuatan untuk melakukan perubahan, tidak hanya sekedar menjadi perhiasan.

Tentu sebuah langkah yang sangat maju ketika kesadaran gender telah muncul dikalangan kaum perempuan sejak sebelum tahun 1928. Meskipun penulis tak yakin pada kongres wanita itu kata-kata gender mereka sebut-sebut, bahkan mungkin tak mengetahui adanya istilah itu. Namun, perjuangan yang berangkat dari kesadaran gender yang mereka lakukan adalah perjuangan atas kebenaran-kebenaran universal yang sebenarnya selalu dapat diterima oleh pikiran-pikiran yang terbuka.

Berkat perjuangan yang terus menerus dari masa ke masa, perjuangan kesetaraan gender mulai menunjukkan hasilnya. Saat ini, tentu sudah bukan jamannya lagi melakukan diskriminasi kepada perempuan dan melarang mereka untuk ikut berpartisipasi dalam berbagai kegiatan serta aktivitas. Sebagai warga negara, perempuan memiliki persamaan hak dan kewajiban untuk ikut andil dalam mengisi kemerdekaan dan pembangunan bangsa. Meskipun dalam tataran persepsi dan konstruksi berpikir masyarakat, hingga saat ini perempuan masih mendapat stereotyping yang merendahkan.

Adapun belakangan ini, ada pihak-pihak yang resisten dengan penggunaan istilah gender karena menyamakan antara gender dengan feminisme. Secara mendasar, antara gender dan feminisme adalah dua hal yang berbeda. Gender merupakan persoalan relasi dan posisi laki-laki dan perempuan, sedangkan feminisme merupakan gerakan perempuan yang memperjuangkan isu-isu gender. Karena berupa gerakan, tentu saja feminisme akan melibatkan ideologi di dalamnya. Akibatnya, akan muncul pro-kontra terhadap beberapa aliran feminisme tertentu.

Dengan memahami semangat dibalik penetapan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu, sekarang kita pahami bahwa Hari Ibu tak sekedar urusan memberi hadiah, membuat puisi, atau melepaskan ibu dari pekerjaan-pekerjaan domestik untuk satu hari saja. Lebih dari itu, Hari Ibu seharusnya dimaknai sebagai usaha perjuangan kaum perempuan untuk berperan serta bersama kaum laki-laki dalam mendirikan kemerdekaan, mengisi kemerdekaan, dan membangun Bangsa dan Negara Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar