Mahasiswa adalah komponen yang tidak bisa dilepaskan bagitu saja dari pergulatan sejarah bangsa dan Negara ini. Mulai dari kebangkitannya sampai perjuangan kemerdekaan yang mencapai titik klimak pada munculnya Orde Baru 1965. Bahkan gejolak perlawanan mahasiswa untuk menuntut perubahan baik dalam tatanan sosial, politik dan ekonomi menjadi lebih baik masih terasa hingga saat ini.
Kondisi utama yang menggerakkan hati nurani para mahasiswa dan intelektual untuk mengorganisir dirinya adalah keadaan rakyat yang terjajah dan upaya perlawanan terhadap penguasa kolonial serta upaya mewujudkan Negara yang memiliki kedaulatan utuh alias merdeka. Sampai di penghujung kemerdekaan 1945, mahasiswa dan kaum terpelajar tidak pernah berhenti berjuang hingga memasuki dikade berakhirnya Orde Lama dan memasuki pemerintahan Orde Baru.
Tahun 1950-1965 atmosfir politik Indonesia (Orla) menjalani dua bentuk pemerintahan, Parlementer dan Demokrasi Terpimpin. Sistem ini merupakan upaya untuk menjebatani kulminasi kebutuhan akan suatu Negara yang kuat dengan arus menaikkan politisasi dan aspirasi masyarakat. Tetapi, pada kenyataanya sistem ini menimbulkan dualisme yang kontradiktif. Yakni, pemakaian mobilisasi massa revolusioner disatu pihak dengan pengendalian tunggal lembaga-lembaga Negara dan menghimpun kekuatan politik kedalam sistem NASAKOM dilain pihak.
Akibat dualisme ini, mahasiswa sebagai salah satu unsur masyarakat mengalami politisasi. Kampus dan organisasi massa ekstra Universitas yang umumnya merupakan “bawahan’ dari partai politik menjadi sangat dominan dalam kegiatan mahasiswa. Organisasi intra kampus semuanya hampir tidak dikenal.
1965: Kemenangan Mahasiswa Atau Keharusan Sejarah
Latar belakang revolusioner dan pemusatan kekuasaan politik ke tangan Sukarno di masa demokrasi Terpimpin, telah mematikan sistem oligarki partai. PKI dan Angkatan Darat tampil dominan dalam memperebutkan pengaruh pemerintah, termasuk juga dalam organisasi mahasiswa. Melalui koalisi segitiga yang goyah dan sulit, Soekarno berusaha menyeimbangkan Negara dan masyarakat dalam suatu bentuk pemerintahan yang populis dan otoriter. Dan diantara kedua kekuatan politik yang bertentangan itu, ia berusaha di tengah-tengah sebagai penyeimbang. Di dalam pertarungan ini, organisasi mahasiswa dan pemimpin-pemimpinnya mempunyai peranan besar dalam menggalang dukungan massa bagi kebijakan politik Soekarno.
Pada tingkat itu, oleh kekuatan politik tertentu gerakan mahasiswa diupayakan untuk menjadi aktor utama dipanggung politik nasional sebagai satu kesatuan yang bebas dari pengaruh partai politik. Disinilah diharapkan mahasiswa terwakili di dalam politik nasional atas namanya sendiri. Pada dasarnya, keberadaan mahasiswa dan intelektual dalam percaturan politik, memang bukanlah hal yang baru dalam dinamika sejarah bangsa Indonesia. Sejak berdirinya Budi Utomo, SI, Indische Party, PKI, Sarekat Rakyat dan PNI, mereka sudah terlibat aktif dalam politik melawan Negara kolonial. Oleh karena itu, politik mahasiswa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pertarungan partai-partai yang ada.
Namun demikian, peran mahasiwa dalam percaturan politik semakin kelihatan ketika terjadi krisis kepemimpinan akibat pemberontakan dan kudeta yang dilancarkan oleh PKI. Di mana puncak kudeta itu terjadi pada kamis malam tanggal 30 September 1965 di bawah pimpinan Letnan Kolonel Untung, Komdan Batalyon 1 Resimen Cakrabirawa yang dengan keji membunuh enam perwira tinggi Negara. Peristiwa ini yang dalam pandangan umum sering disebut sebagai peristiwa G30S/PKI.
Para mahasiwa, pemuda, pelajar, partai-partai politik maupun organisasi massa begerak menuntut pembubaran PKI. Di Jakarta, rakyat pembela Pancasila membentuk Komando Aksi Pengganyangan G30S/PKI, yang diikuti dengan pembentukan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) pada 25 Oktober 1965, juga Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) pada 23 Desember 1965. Mereka memulai aksinya yang pertama pada tanggal 8 November 1965 di dalam Rapat Umum Pemuda Pelajar di Jakarta.
Aksi ini berlanjut pada 6 Januari 1966 yang dilakukan oleh KAMI dengan tuntutan agar kenaikan barang ditinjau kembali. Namun, tuntutan itu tidak mendapatkan respon dari pemerintah. Pada akhirnya meledaklah demostrasi pada tanggal 10 Januari 1966, yang melanda hampir seluruh jalanan ibu kota selama kurang lebih 60 hari. Mereka menyampaikan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura), yaitu, pembubaran PKI, retool kabinet dwikora dan turunkan harga atau perbaikan ekonomi.
Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/history/2155693-refleksi-pergerakan-mahasiswa-indonesia-dalam/#ixzz1bnvcKtPt
Tidak ada komentar:
Posting Komentar